Konsultasi Psikologi di Sekolah Sakha
granit
Jumat, November 30, 2018
0 Comments
Ceritanya mulai tahun ajaran ini Sakha resmi pindah sekolah. Sekolah dengan "brand" yang baru, namun masih dengan lokasi, tempat, bunda dan yahnda pengajar yang sama. Bingung kan? Hahaha.. Jadi sekolah Sakha sebelumnya itu sistemnya franchise gitu deh, pernah saya ceritakan di postingan ini.
Sekolah Sakha yang baru ini menurut saya sistemnya lebih baik dari sekolah sebelumnya. Sakha masih mengulang KB (Kelompok Bermain), walaupun banyak teman-temannya yang udah masuk TK. Semua demi masuk SD menginjak umur 7 tahun.. Di sekolah Sakha ini setiap semester ada sesi konsultasi ke psikolog anak, gratis. Kebetulan Sakha dapet jadwal yang pas banget dengan jam istirahat kantor. Cuz dah saya dan ayah Sakha langsung datang.
Orang tua murid diberi waktu sekitar 20 menit untuk melakukan sesi konsultasi. Sebelumnya saya dan ayah Sakha udah menyiapkan hal-hal yang akan ditanyakan. Selebihnya biarkan let it flow aja. Sekarang saya mau sharing hasil konsultasi kami dengan psikolog di sekolah Sakha tadi ya. Semua ini berdasarkan kasus-kasus yang dialamin Sakha, siapa tau kejadian pada anak lain juga..
SENSITIF
Menurut kami, Sakha ini anaknya sensitif. Misalkan ada keinginan dia yang kami larang, maka Sakha akan langsung ngambek dan melipir ke pojokan. Dia akan diam gak mau diganggu. Drama banget lah pokoknya. Sakha seringnya begini tu pas kami larang untuk jajan. Kebetulan di dekat sekolah pas banget ada toko jajanan Jadi gimana sebaiknya kami sebagai orang tua menghadapi kasus anak yang sensitif atau gampang ngambek?
Bunda psikolog berkata sebenarnya ngambek itu sendiri merupakan respon anak dalam menghadapi kekecewaan. Respon tiap anak ini berbeda-beda, ada yang responnya kadang cuma diam, ada yang sedih, ada yang nangis-nangis, ada pula yang sampai tantrum teriak-teriak bahkan nendang-nendang. Tugas kita sebagai orang tua adalah tetap mendampingi anak, jangan malah dicuekin. Apalagi malah melabeli anak dengan sebutan negatif, misalnya sampe bilang "Ah kamu ini suka ngambek, dikit-dikit ngambek!". Jangan ya gengs, karena label tersebut akan terus diingat anak dan bisa-bisa tertancap di alam bawah sadar anak.
Untuk kasus Sakha yang berumur 4 tahun ini, langkah pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian bahwa tidak semua keinginan anak itu bisa dimiliki atau dikabulkan. Gali informasi dan tunjukkan empati pada hal yang dirasakan anak, misalnya "Sakha kenapa? Sakha sedih ya gak dibelikan jajan. Ama tau Sakha pengen jajan itu, tapi maaf ya Ama ga bisa belikan karena kemarin pas Ama belikan Sakha ga menghabiskan jajannya. Lain kali ya kita belinya".
Kalau misal anak tetap ngambek dan drama, ya udah kita sebagai orang tua diem aja dulu. Kasih kesempatan anak untuk berdamai dengan ketidaknyamanan tersebut. Yang terpenting kita tetap mendampingi di dekatnya, memastikan anak tetap aman dan tidak melakukan hal-hal yang membahayakan. Dengan mendampinginya seperti itu anak jadi merasa diterima apa adanya.
Bunda psikolog juga menganalogikan kasus ini jika terjadi pada orang dewasa. Orang dewasa aja saat menghadapi rasa kecewa pasti responnya berbeda-beda juga, ada yang diem, nangis, sedih, dll. Orang dewasa jarang yang akan ngambek karena mereka sudah bisa mengungkapkan emosinya. Ketika mengalami kekecewaan orang dewasa akan lebih kalem dan akan mengutarakan kekecewaan itu lewat komunikasi verbal, sedangkan anak seusia Sakha mengutarakannya lewat tindakan.
Jadi menurut beliau tindakan ngambek itu wajar untuk anak seusia Sakha karena itu merupakan ekspresi dalam merespon kekecewaan. Kita sebagai orang tua diharapkan bisa mengenalkan berbagai macam emosi kepada anak supaya anak bisa memverbalkan emosi yang sedang dia rasakan. Ketika orang tua memahami emosi apa yang sedang dirasakan anak, anak akan merasa dihargai dan dimanusiakan. Seiring perkembangan usia nanti saat anak merasa tidak nyaman, dia akan lebih gampang menceritakan apa yang dia rasakan.
Oh ya btw mengenalkan emosi pada anak bisa dengan berbagai cara. Bisa dimulai dari kita sebagai orang tua sering menceritakan perasaan yang kita alami sehari-hari kepada si anak, misal "Sakha, hari ini Ama seneng banget bisa dapet pampers adik Sakhi dengan harga murah. Kalau Sakha biasanya seneng dan ketawa kalau kenapa?" .
Baca : Sakhi dan Diapersnya (Part 1)
Bisa juga kita membahas emosi saat kita lagi nonton video atau nonton TV bareng si anak, misal "Sakha, itu bus Tayo lagi sedih ya karena gak tau jalan pulang ke garasinya, dia juga takut kalau kesasar di kota karena dia gak tau jalan, kalau Sakha biasanya sedih karena apa?".
Bisa juga kita mengenalkan emosi dengan media buku. Buku Rabbit Hole yang berjudul Hmmm ini menurut saya recommended banget untuk orang tua yang ingin lebih mudah mengenalkan emosi kepada anak.
Baca : Buku Rabbit Hole, Buku Unik Karangan Psikolog Anak
Oh ya btw mengenalkan emosi pada anak bisa dengan berbagai cara. Bisa dimulai dari kita sebagai orang tua sering menceritakan perasaan yang kita alami sehari-hari kepada si anak, misal "Sakha, hari ini Ama seneng banget bisa dapet pampers adik Sakhi dengan harga murah. Kalau Sakha biasanya seneng dan ketawa kalau kenapa?" .
Baca : Sakhi dan Diapersnya (Part 1)
Bisa juga kita membahas emosi saat kita lagi nonton video atau nonton TV bareng si anak, misal "Sakha, itu bus Tayo lagi sedih ya karena gak tau jalan pulang ke garasinya, dia juga takut kalau kesasar di kota karena dia gak tau jalan, kalau Sakha biasanya sedih karena apa?".
Bisa juga kita mengenalkan emosi dengan media buku. Buku Rabbit Hole yang berjudul Hmmm ini menurut saya recommended banget untuk orang tua yang ingin lebih mudah mengenalkan emosi kepada anak.
Baca : Buku Rabbit Hole, Buku Unik Karangan Psikolog Anak
MAIN BARENG
Ini adalah pertanyaan dari ayah Sakha yang merasakan sedikit keanehan pada Sakha pas lagi di rumah. Ada suatu kondisi ketika rumah kami kedatangan tamu yang terdiri dari satu keluarga (ayah, ibu dan anak, sebut saja si anak ini Dipsy ya), Sakha malah lebih tertarik untuk mengajak main bareng ayah atau ibu dari Dipsy. Sakha malah lempeng-lempeng aja sama si Dipsy, kayak menganggap si Dipsy itu gak ada. Wah jadi harus gimana dong?
Waktu kami tanya hal ini ke bunda psikolog, beliau kayak kaget juga. Kami udah siap-siap mendapat jawaban worst case seperti Sakha itu kurang perhatian dari orang tuanya lah, makanya dia mencari perhatian ke orang tua lain..hahaha.. Tapi ternyata tidak. Beliau malah bertanya balik gimana respon kami saat Sakha melakukan hal tersebut. Kami menjawab kami akan mengajak Sakha main bareng dengan keluarga itu tadi, jadi semua main bareng. Dipsy, ayah dan ibunya, semua terlibat. Setelah Sakha asik dengan si Dipsy, baru deh kami tinggal.
Bunda psikolog bilang tiap anak membutuhkan waktu adaptasi dengan orang baru. Kemungkinan Sakha bingung juga harus bertindak gimana dengan si Dipsy tadi. Lhawong Dipsynya mungkin juga lempeng-lempeng aja. Mungkin Sakha mikir mengajak main teman baru bisa jadi masih membutuhkan waktu. Ada sesi diem-dieman awkward gitu kan pasti. Jadi dia punya ide, "Ah biar dapet respon yang cepet aku ngajak main ayah dan ibunya Dipsy aja deh".
Dan bener aja kan, ternyata setelah Sakha mengajak main ayah dan ibu Dipsy langsung direspon secara antusias. Jadinya besok dan besoknya akan tertanam di mind setnya dia akan ngajak main orang dewasa dulu karena aku suka respon cepat, mungkin gitu kata Sakha.
Bunda psikolog membenarkan respon yang kami lakukan, yaitu mengajak bermain bersama. Sakha membutuhkan arahan gimana dia harus bersikap dengan orang baru. Gimana caranya untuk mengajak main teman yang baru kenal. Tugas orang tua adalah menunjukkan cara-cara tersebut. Bunda psikolog juga menjelaskan pentingnya sounding ke anak. Contohnya saat anak akan main ke rumah keluarga jauh misalnya, jauh-jauh hari udah dijelaskan siapa saja yang akan ditemui disana, apa yang akan dilakukan, berapa lama, dll. Tentang sounding ini pernah berhasil saya terapkan saat mudik naik kereta beberapa waktu lalu btw.
SOUNDING
Akhirnya dua pertanyaan awal tadi jadi berkembang ke topik sounding. Jadi hasil sounding jauh-jauh hari itu ga semua berjalan smooth. Pas manasik haji ke dua kalinya kemarin Sakha rewel sampe nangis-nangis tantrum gara-gara ga sabar pengen main. Padahal sebelumnya udah saya sounding kalau manasik haji itu asik, seru. Sakha juga janji ga akan rewel saat manasik haji.
Eh pada kenyataannya Sakha tetap rewel. Padahal saya udah sounding jauh-jauh hari dan kayaknya Sakha antusias juga lho dengan sounding saya. Bunda psikolog bilang bisa jadi sounding yang saya lakukan kurang tepat. Asik yang bagaimana Sakha belum tau. Bisa jadi menurut saya asik, tapi menurut Sakha enggak! Hahaha.. kalau dipikir-pikir bener juga ya.
Jadi menurut beliau sounding yang dilakukan itu jangan asal sounding, tapi sounding menjelaskan sesuatu yang kongkrit, yang bisa dilihat. Anak seusia Sakha hanya bisa menerima hal-hal yang kongkrit. Sebisa mungkin sounding juga harus detail, ga cuma sekedar bilang asik, seru, atau bagus.
INSIDEN
Sepulang sekolah Sakha selalu menceritakan kesehariannya. Saat ada insiden kecil di sekolah dia akan cerita. Misalnya saat Sakha dicakar temannya, sebut saja di Piko. Sebenernya kita sebagai orang tua sebaiknya menyarankan anak harus gimana ya. Apakah menyarankan Sakha ngomong langsung ke Piko "Hey, itu gak baik, mencakar itu sakit. Aku ga suka dicakar." atau lebih baik menyarankan agar Sakha bilang ke bunda dan yahnda pengajar aja. Jadi biar guru yang menindak si Piko tadi.
Bunda psikolog lebih menyarankan pilihan pertama. Pilihan pertama akan melatih kemampuan asertif anak. *brb googling tentang asertif.
Kemampuan asertif adalah kemampuan untuk mengungkapkan perasaan seseorang dan menegaskan hak-hak seseorang tetap menghargai perasaan dan hak orang lain. Kemampuan Asertif disintetiskan menjadi lima aspek yaitu aspek ketegasan, tanggung jawab, percaya diri, kejujuran, dan menghargai orang lain.
Beliau juga bilang sebaiknya biarkan anak-anak menyelesaikan masalahnya sendiri semampunya. Kita sebaiknya mengajarkan anak cara membela hak-haknya, alias membela diri. Level pertama sikap membela diri adalah dengan tindakan asertif tadi.
Dengan Sakha berani speak up seperti di atas, si Piko tentunya akan merasa kalau tindakan yang dia lakukan tidak benar. Namun jika tindakan negatifnya masih terus berulang ke Sakha, maka guru diharapkan turun tangan sebagai mediator. Kalau perlu dipertemukan juga dengan wali murid Piko supaya bisa saling introspeksi.
Untuk anak seusia Sakha jarang sekali terjadi kasus bullying. Level pembelaan dirinya pun masih dalam level asertif tersebut (level 1). Mungkin kalau udah usia sekolah dasar atau sekolah menengah diperlukan level yang lebih tinggi untuk mempertahankan diri dari bullying mengingat akhir-akhir ini banyak kasus bullying di sekolah.
Dengan Sakha berani speak up seperti di atas, si Piko tentunya akan merasa kalau tindakan yang dia lakukan tidak benar. Namun jika tindakan negatifnya masih terus berulang ke Sakha, maka guru diharapkan turun tangan sebagai mediator. Kalau perlu dipertemukan juga dengan wali murid Piko supaya bisa saling introspeksi.
Untuk anak seusia Sakha jarang sekali terjadi kasus bullying. Level pembelaan dirinya pun masih dalam level asertif tersebut (level 1). Mungkin kalau udah usia sekolah dasar atau sekolah menengah diperlukan level yang lebih tinggi untuk mempertahankan diri dari bullying mengingat akhir-akhir ini banyak kasus bullying di sekolah.
MINTA IZIN DULU
Ini pertanyaan singkat dari ayah Sakha. Jadi kami mengajari Sakha kalau dia ingin pinjam mainan punya anak lain tuh harus minta izin dulu. Nah di suatu ketika ada teman Sakha main ke rumah, sebut saja si Nobita. Nobita ini main nyelonong aja pegang-pegang dan mainin mainan Sakha tanpa minta izin. Sakha nya jadi protes, dan lagi-lagi ngambek di pojokan . Itu gimana kita sebagai orang tua menanggapinya?
Bunda psikolog mengatakan sebagai orang tua kita harus bersikap netral. Sekali lagi tidak disarankan melabeli anak walaupun itu anak orang lain. Jadi jawaban "Nobita itu nakal ya karena gak minta izin dulu" itu sangat tidak dianjurkan. Orang tua sebaiknya menyarankan anak untuk berinisiatif memberi penjelasan jika menemui temannya yang bertindak tidak sesuai aturan. Lagi-lagi kembali ke kemampuan asertif tadi ya..
Jadi beliau menyarankan jawaban seperti "Oh iya mungkin Nobita tidak tau kalau harus minta izin dulu. Mungkin dia tidak diajarkan orang tuanya kalau sebelum pinjam mainan milik orang lain, harus minta izin dulu. Sakha bilang aja ke Nobita kalau mau pinjem harus minta izin dulu ya".
Dan sebagai orang tua, we can't expect other parent behave like us. Jadi tetaplah mengajarkan anak sesuatu yang baik, yang tidak menyimpang dari aturan dan norma-norma yang berlaku. Setelah itu semua tertanam pada keseharian anak kita, niscaya ke depannya mereka tidak akan terpengaruh oleh hal-hal negatif.
Ini pertanyaan singkat dari ayah Sakha. Jadi kami mengajari Sakha kalau dia ingin pinjam mainan punya anak lain tuh harus minta izin dulu. Nah di suatu ketika ada teman Sakha main ke rumah, sebut saja si Nobita. Nobita ini main nyelonong aja pegang-pegang dan mainin mainan Sakha tanpa minta izin. Sakha nya jadi protes, dan lagi-lagi ngambek di pojokan . Itu gimana kita sebagai orang tua menanggapinya?
Bunda psikolog mengatakan sebagai orang tua kita harus bersikap netral. Sekali lagi tidak disarankan melabeli anak walaupun itu anak orang lain. Jadi jawaban "Nobita itu nakal ya karena gak minta izin dulu" itu sangat tidak dianjurkan. Orang tua sebaiknya menyarankan anak untuk berinisiatif memberi penjelasan jika menemui temannya yang bertindak tidak sesuai aturan. Lagi-lagi kembali ke kemampuan asertif tadi ya..
Jadi beliau menyarankan jawaban seperti "Oh iya mungkin Nobita tidak tau kalau harus minta izin dulu. Mungkin dia tidak diajarkan orang tuanya kalau sebelum pinjam mainan milik orang lain, harus minta izin dulu. Sakha bilang aja ke Nobita kalau mau pinjem harus minta izin dulu ya".
Dan sebagai orang tua, we can't expect other parent behave like us. Jadi tetaplah mengajarkan anak sesuatu yang baik, yang tidak menyimpang dari aturan dan norma-norma yang berlaku. Setelah itu semua tertanam pada keseharian anak kita, niscaya ke depannya mereka tidak akan terpengaruh oleh hal-hal negatif.
Gak terasa waktu 20 menit yang disediakan itu berlalu sangat cepat. Akhirnya selesai juga sesi tanya jawab bersama psikolog anak di sekolah Sakha. Rasanya saya seneng banget bisa interaksi langsung dengan psikolog anak, plong gitu dah. Btw ini kali kedua saya berkonsultasi dengan psikolog. Yang pertama saat mengurus surat rujukan faskes pertama saat akan melahirkan Sakhi, waktu pemeriksaan ANC Terpadu tepatnya.
Baca : Periksa Kehamilan dan Mengurus Rujukan di Puskesmas (ANC Terpadu)
Akhir kata, semoga sharing saya kali ini bermanfaat ya. InsyaAllah semester depan kalau ada sesi konsultasi psikolog anak lagi, hasilnya akan saya tulis di blog ya. Terimakasih sudah membaca.. Selamat berakhir pekan..
Sumber gambar & quote :
Keluarga : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjxh2MJYO8Oot8pNbuTyv2qnYqLnL-h8BtVvv_WeUPBiyjzh6plSxz52_V1y79dBH59oU3xsUoo1yluB_dQglnzrbLXB3kh2AJOCDrLQIYhLirPZSPDhhUFXQkWOxh0A7y7FAFA7qS_60/s1600/mendidik-anak+Dunia+anak+kita.jpg
Quote : https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2013/08/03/meningkatkan-kemampuan-asertif/
Quote : https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2013/08/03/meningkatkan-kemampuan-asertif/